TEKNOKES INDO

TEKNOKES INDO

Pre Eklampsia

 

A.    Pre Eklampsia

1.      Pengertian

Preeklamsi adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan proteinuria yang muncul pada kehamilan 20 minggu sampai akhir minggu pertama setelah persalinan (Sukarni & Margareth, 2020).

2.      Patofisiologi

Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Dalam buku Kegawaran dalam Kehamilan-persalinan banyak ahli saat ini menyarankan model dua-tahap yang terdiri atas triger plasenta yang diikuti dengan respons sistemik maternal. Perbedaan pada presentasi dan kemajuan pre-eklampsia dijelaskan sebagai akibat perbedaan sifat respons maternal (Saifuddin, 2019).

Dinyatakan bahwa triger plasenta merupakan satu kondisi iskemia absolut atau relatif akibat :

a.       Plasentasi yang buruk yang terjadi ketika terdapat kegagalan invsasi trofoblas arteri spiralis uteri. Pada kehamilan normal, dinding otot arteri ini tersusun atas otot lurik sejauh sepertiga bagian dalam miometrium yang mengakibatkan perfusi lebih banyak ke ruang intervilus. Insufisiensi plasenta juga berkaitan dengan deposisi fibrin dan trombosis pada arteriol spiralis.

b.      Plasenta yang besar abnormal, yang meningkatkan suplai darah, seperti pada kehamilan kembar atau mola hidatidiformis.

c.       Faktor lain yang menurunkan perfusi plasenta, seperti perubahan kardiovaskular akibat diabetes atau hipertensi esensial.                  

Iskemia plasenta secara langsung maupun tidak langsung mungkin memicu respons radang maternal abnormal (disfungsi endotel umum merupakan bagian respons tersebut) pada wanita yang mengalami pre-eklampsia dan gangguan terkait. Akan tetapi tidak semua wanita yang memiliki pemicu potensial mengalami pre-eklampsia. Oleh karena itu respons maternal dipengaruhi oleh faktor genetik, perilaku, atau lingkungan. Faktor ini dapat meliputi genotipe maternal atau janin atau interaksi keduanya. Teori imunologis menyatakan bahwa respons maternal berlebihan terjadi ketika terdapat pemajanan terhadap antigen ayah, misalnya pada kehamilan pertama, dengan pasangan baru atau dengan penggunaan sperma donor. Teori lain adalah stres oksidatif. Stres oksidatif terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Radikal bebas dihasilkan melalui metabolisme. Radikal bebas berpotensi merusak membran sel, protein dan DNA, serta dihasilkan dalam jumlah lebih besar ketika terjadi iskemia. Tampak bahwa tidak ada penyebab khusus pre-eklampsia, dan mungkin berbagai hal termasuk faktor plasenta dan maternal mengakibatkan disfungsi endotel yang merupakan bagian reaksi radang intravaskular maternal yang lebih luas. Sebagian besar gambaran klinis pre-eklamsia dapat dijelaskan melalui konsep disfungsi sel endotel umum, yang digunakan sebagai dasar diagnosis (Billington & Stevenson, 2018).

3.      Tanda dan Gejala

Menurut (Taber et al., 2019), terdapat data subjektif yang dapat ditemui pada penderita preeklamsi diantaranya :

a.       Kenaikan berat badan

Timbul secara cepat dalam waktu yang singkat menunjukan adanya retensi cairan dan dapat merupakan gejala paling dini dari preeklamsia. Pasien sadar akan edema yang menyeluruh, terutama pembengkakan pada muka dan tangan. Keluhan yang umum adalah sesaknya cincin pada jari-jarinya. Sebagai usaha untuk membedakan edema kehamilan, proses yang jinak, dari preeklamsia, tekanan darah pasien harus diketahui.

b.      Sakit Kepala

Meskipun sakit kepala merupakan gejala yang relative biasa selama kehamilan, sakit kepala dapat juga menjadi gejala awal dari edema otak. Sebagai konsekuensinya, tekanan darah pasien harus ditentukan.

c.       Gangguan Penglihatan

Mungkin merupakan gejala dari preeklamsi berat dan dapat menunjukan spasme arteriolar retina, iskemia, edema, atau pada kasus – kasus yang jarang, pelepasan retina.

d.      Nyeri Epigastrum atau Kuadran Kanan Atas

Menunjukkan pembengkakan hepar yang berhubungan dengan preeklamsia berat atau menandakan rupture hematoma subkapsuler hepar.

4.      Klasifikasi Pre Eklampsia

Menurut (Sarwono Prawirohardjo, 2020) kalsifikasi pre-eklamsi dibagi menjadi:

                            a.   Pre-eklampsia ringan

1)      Definisi

Pre-eklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.

2)      Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria / edeme setelah kehamilan 20 minggu.

a)        Hipertensi : sistolik / diastolik ≥ 140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥ 30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥ 15 mmHg.

b)        Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1 dipstik.

c)        Edema : edema pada lengan, muka, dan perut, edema generalisata.

3)   Manajemen umum preeklamsia ringan

Pada setiap kehamilan disertai penyulit suatu penyakit, maka selalu dipertanyakan, bagaimana :

a)      Sikap terhadap penyakitnya, berarti pemberian obat-obatan, atau terapi medikamentosa.

b)      Sikap terhadap kehamilannya; berarti mau diapakan kehamilan ini

(1)    Apakah kehamilan akan diteruskan sampai aterm?

Disebut perawatan kehamilan “konservatif” atau “ekspektatif”

(2)    Apakah kehamilan akan diakhiri (diterminasi)?

Disebut perawatan kehamilan “aktif” atau “agresif”

4)   Tujuan utama perawatan pre-eklampsia

Mencegah kejang, perdarahan intrakranial, mencegah gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.

5)   Rawat jalan (ambulatoir)

a)      Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring / tidur miring), tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring.

b)      Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena cava inferior.

c)      Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak berupa susu atau air buah.

d)      Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia prenatal.

6)   Rawat inap (dirawat di rumah sakit)

Kriteria pre-eklampsia ringan dirawat di rumah sakit adalah :

a)      Bila tidak ada perbaikan tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu.

b)      Adanya tanda dan gejala pre-eklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung, dan lain-lain.

7)   Perawatan obstetric yaitu sikap terhadap kehamilannya

Pada kehamilan preterm (< 37 minggu), bila tekanan darah mencapai normotensif, selama perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm.

Pada kehamilan aterm (> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada tanggal taksiran persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu memperpendek kala II.

(Saifuddin, 2019)

5.      Penanganan

a.       Penanganan Pre-eklamsi Ringan

1)      Rawat jalan

a)      Banyak istirahat (berbaring tidur miring)

b)      Diet: cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.

c)      Sedativa ringan (jika tidak bisa istiraht) tablet fenobarbital 3x30 mg peroral selama 2 hari

d)      Roboransia

e)      Kunjungan ulang tiap 1 minggu

2)      Jika di rawat di puskesmas atau di rumah sakit

a)      Pada kehamilan preterm ( kurang dari 37 minggu)

(1)    Jika tekanan darah mencapai normotensif selama perawatan, persalinan ditunggu sampai aterm.

(2)    Bila tekanan darah turun tetapi belum mencapai normotensif selama perawatan maka kehamilanya dapat diakhiri pada kehamilan lebih dari 37 minggu.

b)      Pada kehamilan aterm (lebih dari 37 minggu)

Persalinan ditunggu spontan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan.

3)      Cara persalinan

Persalinan dapat dilakukan spontan bila perlu memperpendek kala II dengan bantuan oleh bedak onstetri.

 

B.     Pre Eklampsia Berat

1.      Pengertian Pre eklampsi berat

Preeklamsi berat (PEB) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan proteinuria tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vasikuler atau hipertensi sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih (Padila, 2018). Pre eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan (Mansjoer, 2019).

Menurut (Sarwono Prawirohardjo, 2020), preeclampsia berat ialah preeclampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/ 24 jam.

2.      Diagnosis Pre Eklampsia Berat

Diagnosis ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum di bawah ini.

Pre eklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut.

a.       Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolic 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.

b.      Proteinuria lebih 5 g/ 24 jam atau 3, 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.

c.       Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/ 24 jam.

d.      Kenaikan kadar kreatinin plasma.

e.       Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.

f.        Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadaran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson) .

g.      Edema paru-paru dan sianosis.

h.      Hemolysis mikroangiopatik.

i.        Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat

j.        Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanine dan aspartate aminotransferase.

k.      Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.

l.        Sindrom HELLP.

(Sarwono Prawirohardjo, 2020)

3.      Pembagian Pre Eklampsia berat

Pre eklampsia dibagi menjadi:

a.       Pre eklampsia berat tanpa impending eclampsia.

b.      Pre eklampsia berat dengan impending eclampsia.

Disebut impending eclampsia bila preeclampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif tekanan darah.

(Sarwono Prawirohardjo, 2020)

4.      Faktor Risiko

1.   Ada hubungan genetic yang telah ditegakkan, riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan meningkatkan risiko empat sampai delapan kali.

2.   Ada bukti pengaruh paternal. Ibu berisiko dua kali lebih besar bila hamil dari pasangan yang sebelumnya menjadi bapak dari satu kehamilan yang menderita penyakit ini.

3.   Pre-eklampsia sepuluh kali lebih sering terjadi pada kehamilan pertama; keguguran dan penghentian kehamilan memberikan perlindungan terhadap penyakit ini pada kehamilan berikutnya.

4.   Kehamilan ganda memiliki risiko lebih dari dua kali lipat

5.   Pasangan (suami) baru mengembalikan risiko ibu sama seperti primigravida.

6.   Obesitas (yang dengan indeks masa tubuh > 29) meningkatkan risiko empat kali lipat.

7.   Kondisi dasar maternal yang meningkatkan risiko: hipertensi kronis, penyakit ginjal, intoleransi glukosa termasuk diabetes gestasional, pre-eklampsia sebelumnya (20% risiko kekambuhan) dan kecenderungan trombotik yang mendasari, terutama sindrom antifosfolipid.

(Chapman, 2019)

5.      Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya pre-eklamsi meliputi:

a.       Nulipara umur belasan tahun.

b.      Pasien yang miskin dengaan pemeriksaan antenatal yang kurang atau tidak sama sekali dan nutrisi yang buruk, terutama dengan diet kurang protein.

c.       Mempunyai riwayat preeklamsi dan eklamsi dalam keluarga.

d.      Mempunyai penyakit vaskular hypertensi sebelumya.

e.       Kehamilan-kehamilan dengan tropoblast yang berlebihan ditambah vili korion.

1)      Kehamilan ganda

2)      Mola hidatidosa

3)      Diabetes Mellitus

4)      Hidrops fetalis

(Taber et al., 2019)

6.      Penyulit Ibu

a.       System saraf pusat

Perdarahan intracranial. Trombosit vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, macular atau retina detachement dan kebutaan korteks.

Gastrointestinal hepatic, subkapsular hematoma hepar, rupture kapsul hepar.

Ginjal : gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.

Hematologic : edema paru kardiogenik atau non kardiogenik, depresi atau arrest, pernafasan, kardiak arrest, iskemi miokaridum.

Lain-lain : asites, edema laring, hipertensi  yang tidak terkendali.

7.      Penyulit janin

a.       IUGR

b.      Solusio plasenta

c.       Prematuritas

d.      Sindroma distress napas

e.       Kematian janin intrauterine

f.        Kematian neonatal perdarahan intraventrikuler

g.      Necrotizing enterocolitis

h.      Sepsis

i.        Cerebral palsy

8.      Penanganan Pre Eklampsia Berat

Penanganan pre-eklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jam setelah timbulnya kejang pada eklampsia. Semua kasus preeclampsia berat harus ditangani secara aktif. Penanganan konservatif tidak dianjurkan karena gejala dan tanda eklampsia seperti hiperrefleksia dan gangguan penglihatan sering tidak sahih.

Penanganan Kejang

1.      Beri obat antikonvulsan (MgSO4)

2.      Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan napas, sedotan, masker dan balon, oksigen)

3.      Beri oksigen 4-6 liter per menit

4.      Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras

5.      Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi

6.      Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu

Penanganan Umum

1.      Jika tekanan diastolic tetap lebih dari 110 mmHg, berikan obat antihipertensi sampai tekanan diastolic antara 90-100 mmHg

2.      Pasang infuse dengan jarum besar (16 gauge atau lebih besar)

3.      Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload cairan

4.      Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria

5.      Jika jumlah urin kurang dari 30 ml per jam:

a.       Hentikan MgSO4 dan berikan cairan IV (NaCl 0,9% atau RL) pada kecepatan 1 liter per 8 jam

b.      Pantau kemungkinan edema paru

6.      Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin

7.      Observasi tanda-tanda vital, refleks, denyut jantung janin setiap 1 jam

8.      Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru

9.      Hentikan pemberian cairan IV dan berikan diuretic misalnya furosemid 40 mg IV sekali saja jika ada edema paru

10.  Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan darah sederhana (bedside clotting test). Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati.

(Saifuddin, 2019)

9.      Manajemen umum perawatan preeklamsia berat

Perawatan preeklamsia berat sama halnya dengan perawatan preeklamsia ringan, dibagi menjadi dua unsur :

1.      Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis.

Sikap terhadap penyakit : pengobatan medika mentosa

a.       Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri)

Perawatan penting pada preeklamsia berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia berat dan eklamsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru atau oliguria. Sebab terjadinya edema paru dan oliguria ialah hypovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan  gradient tekanan kotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure.

Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral ataupun infus) dan output cairan (melalui urine) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urine.

Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa

-          5% ringer-dextrose atau cairan garam faali jumlah tetesan< 125 cc/jam

-          Infus dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc

Dipasang foley chateter untuk mengukur pengeluaran urine. Oliguria terjadi bila produksi urin kurang dari 300-500ml/24jam atau kurang dari 0,5ml/kgBB/Jam.Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohirat, lemak dan garam.

b.      Pemberian obat anti kejang

-          Obat anti kejang adalah

a)      MgSO4

Menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuscular. Transmisi neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalisium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi( terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsiumdan ion magnesium). Kadar kalsium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk anti kejang pada preeklasmi aatau eklamsia.

b)      Diazepam

c)      Fenitoin

Definihidantoin obat anti kejang untuk epilepsy telah banyak dicoba pada penderita eklamsia.

Beberapa peneliti telah memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neurone, cepat masuk jaringan otak dan efek anti kejang terjadi terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dosis 15 mg/kg BB dengan pemberian intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

2.      Sikap terhadap kehamilannya adalah aktif :manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklamsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi :

a.       Perawatan aktif

Berarti kehamilan segera diakhiri / dirterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.

Indikasi :

1)      Ibu

-          Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Lockwood dan paidas mengambil batasan umur kehamilan> 37 minggu untuk preeklamsia ringan dan batasan umur kehamilan≥ 37 minggu untuk preeklamsia berat.

-          Adanya tanda-tanda gejala impending eklamsia.

-          Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan laboratorium buruk

-          Diduga terjadinya solusio plasenta

-          Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

2)      Janin

-          Adanya tanda-tanda fetal ditress

-          Adanya tanda-tanda IUGR

-          NST nonreaktif dengan priofil biofisik abnormal

-          Terjadinya oligohidramnion

3)      Laboratorik

-          Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasarkan keadaan obstetric pada waktu itu, apakah sudah impart atau belum.

-          Adanya tanda syndrome HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cara yang cepat.

b.      Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif bila preterm ≤37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsia dengan keadaan janin baik.

Diberi pengobatan yang  sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. MgSO4 diberhentikan apabila ibu sudah mencapai tanda – tanda preeklamsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila kembali ke gejala-gejala atau tanda-tanda preeklamsia ringan.

C.    Evidance Based Kebidanan

1.      Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Preeklampsi Berat (PEB) di ruang kebidanan RSUD M.Yunus Bengkulu tahun 2018, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut yaitu sebagian responden yang mengalami Preeklampsi Berat (PEB) adalah ibu dengan usia 20-35 tahun, ibu dengan paritas multigravida, dan ibu yang berpendidikan dasar, sedangkan hampir sebagian ibu yang mengalami Preeklampsi Berat (PEB) adalah ibu dengan usia kehamilan aterm, ada hubungan yang bermakna antara usia ibu, paritas, usia kehamilan dan pendidikan dengan kejadian Preeklampsi Berat (PEB) dan faktor yang paling dominan dengan kejadian Preeklampsi Berat (PEB) di ruang kebidanan RSUD M.Yunus Bengkulu tahun 2018 dari penelitian ini adalah pendidikan lebih berhubungan dengan kejadian Preeklampsi Berat (PEB) dengan odd ratio (OR) (Novrianti et al., 2019).

2.      Penggunaan kombinasi nifedipin 10 mg dan metildopa 500 mg efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam pengelolaan kasus preeklampsia berat dengan kompikasi maternal yang minimal. Pada satu kali pemberian kombinasi kedua obat tersebut secara peroral didapatkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 24 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 17 mmHg (Pratiwi, 2018)

3.      Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square diperoleh hasil tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor risiko (usia ibu, paritas, usia kehamilan, jumlah janin, jumlah kunjungan ANC) dengan masing-masing nilai p > 0,05. Analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik didapatkan bahwa usia ibu > 35 tahun merupakan faktor risiko terhadap kejadian PEB dengan nilai p = 0,034. Jadi, usia ibu > 35 tahun dan riwayat hipertensi memiliki hubungan terhadap kejadian pre-eklampsia berat. (Karima et al., 2019)

4.      Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan pelayanan yang komprehensif baik pada fase pre hospital, in hospital maupun pasca hospital pada kasus – kasus kegawatan maternal terutama kasus ibu dengan preeklampsia. Saat ibu hamil dengan kondisi preeklampsia berat maka membutuhkan penanganan kegawatdaruratan yang intensif untuk menyelamatkan nyawa ibu serta bayi yang dikandungnya. Seringnya pemeriksaan yang dilakukan, banyaknya alat – alat yang dipasang ditubuh ibu serta rasa nyeri yang mungkin dirasakan oleh ibu selama proses penanganan sangat memungkinkan menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran tersendiri bagi ibu. Peran perawat yang lebih komunikatif dalam memberikan informasi secara menyeluruh serta sikap perawat yang lebih bersahabat kepada klien akan sangat membantu klien mencapai mekanisme koping yang adaptif (Sari et al., 2017).

5.      Faktor-faktor mendukung kejadian pre eklampsia pada ibu hamil adalah Usia ibu hamil (p value : 0,009), Riwayat Abortus pada Ibu (p value: 0,026), Berat Badan Ibu sebelum hamil atau Obesitas yang terjadi pada Ibu (p value: 0,026) serta riwayat keluarga dengan hipertensi ataupun pre eklampsia (p value : 0,043). Sedangkan faktor – faktor yang tidak mendukung atau tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian pre eklampsia pada Ibu hamil antara lain status gravida (p value : 0,19), Usia Kehamilan (p value : 0,072), serta status pekerjaan Ibu (p value: 0,351) (Rahayu & Yunarsih, 2020).

6.      Hasil penelitian dari 66 responden ibu bersalin terdapat 22 (33,3%) orang mengalami preeklampsia 16 (24,2%) ibu bersalin dengan riwayat hipertensi dan 18 (27,3%) ibu bersalin dengan obesitas. Ada hubungan antara riwayat hipertensi dengan ibu bersalin preeklampsia ρ=0,000 < α (0,5) dan ada hubungan antara obesitas dengan ibu bersalin preeklampsia ρ=0,000 < α (0,5) (Rahmawati et al., 2020).

 

Posting Komentar

0 Komentar