TEKNOKES INDO

TEKNOKES INDO

LAPORAN PENDAHULUAN CVA NON HEMORAGIK




1.      Definisi

Stroke adalah kerusakan pada otak yang muncul mendadak, progresif, dan cepat akibat gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan tersebut secara mendadak menimbulkan gejala antara lain kelumpuhan sesisi wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

Stroke non hemoragik ialah tersumbatnya pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti (Nuratif & Kusuma, 2015).

Stroke non hemoragik adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak adekuat, terjadinya deficit neurologis fokal yang timbul akut dan berlangsung lebih dari 24 jam dan tidak disebabkan perdarahan (Hutagaluh, 2019).

Stroke dapat menyerang otak secara mendadak dan berkembang cepat yang berlangsung lebih dari 24 jam ini disebabkan oleh iskemik maupun hemoragik di otak sehingga pada keadaan tersebut suplai oksigen keotak terganggu dan dapat mempengaruhi kinerja saraf di otak, yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Penyakit stroke biasanya disertai dengan adanya peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK) yang ditandai dengan nyeri kepala dan mengalami penurunan kesadaran. Secara global, 20% aliran darah dari curah jantung akan masuk ke serebral per menit per 100 gram jaringan otak, apabila otak mengalami penurunan kesadaran, penderita stroke non hemoragik dapat menyebabkan ketidak efektifan perfusi jaringan serebral, yang apabila tidak ditangani maka, akan meningkatkan tekanan intrakranial, dan menyebabkan kematian (Hawks & Black, 2014).

 

 

2.    Epidemiologi

Prevalensi stroke menurut Riskesdas (2018), menunjukkan bahwa pada tahun 2018 penderita stroke pada usia 55-64 tahun sebanyak 32,4%, usia 65-74 tahun sebanyak 45,3%, dan  usia 75 tahun ke atas sebanyak 50,2%. Angka tertinggi pada klien yang tidak bekerja sebanyak 21,8%, dan pada profesi PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD sebanyak 21,8%. Penderita laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, dan daerah perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Penderita tertinggi di provinsi Kalimantan Timur 14,7%, provinsi DIY 14,6%. 

Menurut Infodatin (2018), stroke merupakan penyebab kematian kedua dan penyebab disabilitas ketiga di dunia. Data World Stroke Organization menunjukkan bahwa setiap tahunnya ada 13,7 juta kasus baru stroke, dan sekitar 5,5 juta kematian terjadi akibat penyakit stroke. Sekitar 70% penyakit stroke dan 87% kematian dan disabilitas akibat stroke terjadi pada negara berpendapatan rendah dan menengah. Penyakit stroke menyebabkan kecacatan permanen yang mempengaruhi produktivitas penderitanya. Selain berdampak pada ekonomi dan sosial masyarakat, penyakit stroke juga menambah beban pembiayaan. Menurut BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan), penyakit stroke merupakan salah satu penyakit dengan biaya pelayanan kesehatan tertinggi yaitu sebesar 2,56 triliun pada tahun 2018. Dampak buruk penyakit stroke dapat diminimalisir penanganan stroke dikenali dan mendapatkan pertolongan yang tepat dalam 3-4,5 jam dari gejala awal, dapat mengurangi risiko kematian dan kecacatan.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 oleh Kementrian Kesehatan RI, 7% atau sebesar 1.236.825 orang menderita stroke. Jawa Barat merupakan provinsi dengan angka kejadian stroke terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar 238.001 orang, atau 7,4% dari jumlah penduduknya. Selain itu, penderita ditemukan paling banyak pada kelompok umur 55-64 tahun.[12] Laki-laki juga lebih banyak mengidap stroke di Indonesia dibandingkan perempuan. Menurut Sample Registration System (SRS) Indonesia 2014, Stroke merupakan penyakit yang paling banyak diderita, yaitu sebesar 21,1%.

Hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi stroke di Indonesia sebesar 10,9%, prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya umur terlihat dari kasus tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan yaitu usia 75 tahun keatas sebesar 50,2% dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun sebesar 0,6%. Prevalensi stroke di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2018 meningkat dibandingkan pada tahun 2013. Pravalensi stroke pada tahun 2013 sebanyak 6,6% dan pada tahun 2018 naik menjadi 11,4%. Jawa Barat memiliki estimasi jumlah penderita stroke terbanyak berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan maupun diagnosis atau gejala yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan 533.895 orang (16,6%) (Permatasari Nia, 2020).

Berdasarkan WHO, stroke merupakan penyakit dengan angka kematian tertinggi kedua di dunia, dan ketiga dalam menyebabkan kecacatan. Berdasarkan laporan pola penyebab kematian di Indonesia dari analisis data kematian 2010, penyebab kematian tertinggi adalah stroke, sebesar 17,7% (Permana, 2021)

 

3.      Anatomi Fisiologi

Menurut Musi & Nurjannah (2021), sistem saraf adalah kumpulan saraf yang kompleks dan sel-sel khusus yang dikenal sebagai neuron yang mengirimkan sinyal antara berbagai bagian tubuh.  Klasifikasi sitem saraf terdiri dari:

                          a.            Sistem saraf pusat

Mengendalikan seluruh pengaturan dan pengolahan rangsangan, mulai dari mengatur pikiran, Gerakan, emosi, pernapasan, denyut jantung, pelepasan sebagai hormone, suhu tubuh, hingga koordinasi seluruh sistem saraf untuk melakukan fungsi pengaturan di dalam tubuh. Sistem saraf pusat terdiri dari:

1)        Otak (brain/enchephalon)

Otak terbagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu:

a)          Otak besar (serebrum) 

Otak besar merupakan bagian terbesar di dalam anatomi otak manusia. Otak besar berfungsi mengatur gerakan dan koordinasi, sentuhan, penglihatan, pendengaran, penilaian, penalaran, pemecahan masalah, emosi, serta pembelajaran. Serebrum meiliki dua belahan yaitu otak kanan dan kiri. Belahan otak kanan berfungsi mengontrol gerakan sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol gerakan sisi kanan tubuh. Otak kiri dan kanan dipisahkan fisura longitudinal, kedua otak disatukan corpus kalosum yang berfungsi mengirimkan pesan dari satu bagian otak ke bagian lainnya. Permukaan otak besar memiliki lipatan khas yang disebut kortek serebral. Kortek serebral merupakan lapisan tipis luar berwarna abu-abu yang membungkus otak denganketebalan 2-3 mm. lipatan dan tonjolan yang berkerut membentuk gyri dan celah di antaranya disebut sulci. Setiap belahan serebrum dan korteks serebri terdiri dari empat lobus otak, yaitu:

(1)     Lobus frontal, merupakan bagian depan otak atau di belakang dahi yang berfungsi mengontrol pemikiran, perencanaan, pengorganisaisan, pemecahan masalah, ingatan, dan gerakan jangka pendek dan Panjang.

(2)     Lobus parietal, merupakan bagian otak di atas dan belakangng lobus frontal yang berfungsi menafsirkan informasi sensorik, seperti rasa suhu, dan sentyhan, serta mengidentifikasi objek dan memahami hubungan spasial.

(3)     Lobus oksipital, merupakan bagian otak di belakang kepala yang menerima dan menginterpretasikan stimulus visual.

(4)     Lobus temporal, terletak di bagian belakang dan bawah lobus frontal di atas telinga yang berfungsi mengatur memori, ucapan, dan pemahaman.

Korteks serebral merupakan permukaan luar dari serebrum yang mengandung badan sel, serat yang tidak dilapisi mielin, neuroglia, dan pembuluh darah. Fungsi masing-masing area:

(1)     Area motoric primer memfasilitasi pergerakan volunteer ada musculoskeletal.

(2)     Area bicara meningkatkan pemahaman akan kata-kata yang diucapkan dan ditulis.

(3)     Area bicara motoric (Area Broca) meningkatkan artikulasi kata.

(4)     Diensefalon.

Korteks serebral merupakan permukaan luar dari serebrum yang mengandung badan sel, serat yang tidak dilapisi mielin, neuroglia, dan pembuluh darah. Fungsi masing-masing area:

(1)     Area motoric primer memfasilitasi pergerakan volunteer ada musculoskeletal.

(2)     Area bicara meningkatkan pemahaman akan kata-kata yang diucapkan dan ditulis.

(3)     Area bicara motoric (Area Broca) meningkatkan artikulasi kata.

(4)     Diensefalon.

Korteks serebral merupakan permukaan luar dari serebrum yang mengandung badan sel, serat yang tidak dilapisi mielin, neuroglia, dan pembuluh darah. Fungsi masing-masing area:

(1)     Area motoric primer memfasilitasi pergerakan volunteer ada musculoskeletal.

(2)     Area bicara meningkatkan pemahaman akan kata-kata yang diucapkan dan ditulis.

(3)     Area bicara motoric (Area Broca) meningkatkan artikulasi kata.

(4)     Diensefalon.

b)         Sumsum Tulang Belakang (SpinalnCord)

Sumsum tulang belakang langsung terhubung ke otak melalui batang otak dan mengalir sepanjang ruas tulang belakang. Sumsum tulang belakang berfungsi membawa informasi dari berbagai bagian tubuh ke otak dan sebaliknya.

2)        Sistem Saraf (sel saraf)

       Neuron adalah blok sel yang membangun system saraf pusat. Miliaran sel saraf ditemukan di seluruh tubuh dan berkomunikasi untuk menghasilkan respon dan tindakan fisik.          

Suplai darah arteri ke otak merupakan jalinan pembuluh darah yang bercabang-cabang saling berhubungan erat sehingga menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. Suplai darah dijamin dua pasang arteri yaitu arteri vertebralis dan arteri karotis interna yang memiliki cabang yang beranastomosis membentuk sirkulus serebri Willisi. Aliran vena otak tidak selalu parallel dengan suplai darah arteri, pembuluh vena meninggalkan otak melalui sinus dura mater yang besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. Arteri medulla spinalis dan system cena parallel satu sama lain dan mempunyai hubungan percabangan yang luas untuk mencukupi suplai darah ke jaringan. Arteri karotis komunis kiri bercabang dari arkus aorta, sedangkan arteri komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna mensuplai darah daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke duramater. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan bercabang menjadi arteri serebri anterior dan media.


                          a.            Sistem Saraf Tepi

       Menghubungkan sistem saraf pusat dengan seluruh tubuh yang diklasifikasikan sebagai berikut:

1)        Saraf spinal

       31 pasang saraf spinal terdiri dari 8 pasang servikal, 12 pasang torakal, 5 pasang lumbal, 5 pasang sacral, dan 1 pasang koksigis. Setiap saraf spinal mengandung serat sensorik dan motorik.

2)        Saraf kranial

       12 pasang saraf kranial berasal dari otak depan dan batang otak, fungsi saraf kranial adalah:

Tabel 1. Fungsi Saraf Kranial

Urutan saraf

Nama saraf

Sifat saraf

Memberikan saraf untuk dan fungsi

I

Nervus olfaktorius

Sensorik

Hidung, sebagai alat

penciuman

II

Nervus optikus

Sensorik

Bola mata,untuk penglihatan

III

Nervus okulomotoris

Motorik

Penggerak bola mata dan mengangkat kelopak mata

IV

Nervus troklearis

Motorik

Mata, memutar mata

dan penggerak bola mata

V

Nervus trigeminus

N. Oftalmikus

N. Maksilaris

N. Mandibularis

Motorik dan sensorik Sensorik Motorik dan sensorik

Kulit kepala dan kelopak mata atas Rahang atas, palatum, dan hidung rahang bawah dan lidah

VI

Nervus abdusen

Motorik

Mata, penggoyang sisi mata

VII

Nervus fasialis

Motorik dan sensorik

Otot lidah, menggerakkan lidah dan selaput lender rongga mulut

VIII

Nervus auditorius

Sensorik

Telinga,rangsangan pendengaran

IX

Nervus vagus

Motorik dan motorik

Faring, tonsil, dan lidah, rangsangan cita rasa

X

Nervus vagus

Sensorik dan

motorik

Faring, laring, paru-paru dan esophagus

XI

Nervus asesorius

Motorik

Leher, otor leher

XII

Nervus hipoglosus

Motorik

Lidah, cita rasa, dan

otot lidah

1.         Etiologi

a.         Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher) Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis.

b.        Embolisme cerebral Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik.

c.         Iskemia Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah.

(Pinzon & Laksmi Asanti, 2010)

 

Etiologi stroke menurut Yueniwati (2015), adalah:

                               a.       Thrombus, terjadi di dinding pembuluh darah sebagai bagian dari pengerasan dinding pembuluh darah (arterosklerosis)

                              b.       Emboli, adanya jendalan darah yang berasal dari tempat lain midalnya dari jantung.

                               c.       Penyakit pembuluh darah kecil otak (mikroangiopati)

 

2.         Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala stroke nonhemoragik menurut Yueniwati (2015), adalah:

                               a.            Bagian system saraf

       Terjadi kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik.

                              b.            Bagian batang otak

       Batang otak terdapat 12 saraf kranial. Gejala yang timbul antara lain : menurunnya kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajahb terganggu, pernapasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.

                               c.            Bagian korteks serebral

       Gejala yang timbul adalah aphasia, apraxia, daya ingat menurun, hemineglect, dan kebingungan.

 

Tanda dan gejala stroke non hemoragik menurut (Mutiarasari, 2019), adalah:

a.    Hemidefisit motorik

b.    Hemidefisit sensorik

c.    Penurunan kesadaran

d.    Kelumpuhan nervus VII (fasialis) dan nervus XII (hipoglosus) yang bersifat sentral

e.    Afasia dan demensia

f.     Hemianopsia

g.    Defisit batang otak

Stroke menurut Jainurakhma et al. (2021), merupakan kondisi klinis kegawatdaruratan yang harus mendapatkan penanganan cepat dan akurat rentang waktu 3,5 jam. Item penilaian Stroke pada fase pre hospital dapat dinilai dengan FAST, yaitu:

                               a.       Face, wajah menurun di satu sisi, tidak bisa tersenyum, mulut atau mata turun.

                              b.       Arms, tidak dapat mengangkat kedua lengan karena melemah atau mati rasa pada satu tangan.

                               c.       Speech, cara bicara cadel atau mungkin tidak dapat berbicara sama sekali meskipun dalam keadaan sadar.

                              d.       Time, meminta pertolongan segera jika melihat gejala tersebut

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           6.            Faktor Risiko Stroke

Faktor risiko Stroke menurut Musi & Nurjannah (2021), adalah:

                          a.            Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

1)        Usia : usia merupakan faktor risiko paling kuat, 30% terjadi pada usia sebelum 65 tahun, 70% terjadi pada usia 65 tahun ke atas. Risiko stroke dua kali pada setiap 10 tahun di atas 55 tahun.

2)        Jenis kelamin, stroke lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan, hal ini disebabkan karena Wanita dilindungi oleh hormone sebelum menopause.

3)        Herediter (riwayat penyakit keluarga), riwayat keluarga yang pernah mengalami stroke akan meningkatkan risiko terserang stroke. Kembar monozygot lebih memungkinkan stroke iskemik daripada dizigot. Peranan kompleks gen berhubungan dengan factor risiko intrinsik.

4)        Ras, orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina dan Jepang memiliki insiden stroke lebih tinggi dibandingkan dengan kulit putih. Di Indonesia suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke, hal ini disebabkan pola makan dan jenis makanan yang mengandung kolesterol.

                          b.           Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

1)        Hipertensi: hipertensi biasanya disebabkan oleh aterosklerosis pembuluh darah serebral, sehingga pembuluh darah tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang menyebabkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak yang mengakibatkan perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian.

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut WHO

Klasifikasi

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Normal

<120

<80

Pre-Hipertensi

120-139

80-89

Hipertensi Stage 1

140-159

90-99

Hipertensi Stage 2

>160

>100

 

2)        Diabetes melitus, penyakit DM akan mengalami vaskuler, sehingga terjadi mikrovaskularisasi dan terjadi aterosklerosis, terjadinya aterosklerosis dapat menyebabkan emboli yang kemudian menyumbat dan terjadi iskemia, iskemia menyababkan perfusi otak menurun dan pada akhirnya terjadi stroke.

3)        Peningkatan kolesterol, kolestrol tidak dapat langsung larut dalam darah dan cenderung menempel di pembuluh darah, akibatnya kolestrol membentuk bekuan dan plak yang menyumbat arteri dan akhirnya memutuskan aliran darah ke jantung (menyebabkan serangan jantung) dan ke otak (menyebabkan stroke).

4)        Penyakit kardiovaskuler, penyakit embolisme serebral yang berasal dari jantung seperrti penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongesif, miocard infark, hipertrofi ventrikel kiri. Pada fibrilasi atrium menyebabkan penurunan CO², sehingga perfusi darah ke otak menurun, maka otak akan kekurangan oksigen yang akhirnya dapat terjadi stroke.

5)        Obesitas, merupakan kondisi BMI (Body Mass Index) >30 kg/m. obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan dula darah. Obesitas mengakibatkan jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah sehingga meningkatkan tekanan darah, juga meningkatkan risiko arteriosklerosis.

6)        Merokok, perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga memungkinkan penumpukan arterosklerosis dan kemudian berakibat pada stroke.

7)        Alkhohol, alkoholik dapat menyebabkan hipertensi, penurunan aliran darah ke otak dan kardiak aritmia serta kelainan motilitas pembuluh darah sehingga terjadi emboli serebral.

8)        Aktifitas fisik, aktifitas fisik akan membuat lumen pembuluh darah menjadi lebar sehingga jantung mampu memompa darah dengan lancar. Aktifitas fisik minimal 3-5 kali dalam seminggu dengan waktu minimal 30-60 menit menurunkan risiko terjadinya arterosklerosis pada pembuluh darah, sehingga menurunkan risiko stroke.

9)        Stress, mengakibatkan hati memproduksi lebih banyak radikal bebas, menurunkan imunitas dan mengganggu hormonal. Salah satu hirmon yang meningkat adalah hormone kortisol dan adrenalin yang berkontribusi pada proses arterosklerosis, karena kedua hormone ini meningkatkan trombosit dan produksi kolesterol. Kortisol dan adrenalin dapat merusak sel yang melapisi arteri sehingga jaringan lemak lebih mudah tertimbun di dalam dinding arteri.

1.         Klasifikasi

Klasifikasi stroke nonhemoragik berdasar kausal menurut Hutagaluh (2019, adalah:

                               a.       Stroke akibat trombotik, muncul dari pembuluh darah tempat oklusi jejas sel endothelium yang mempresipitasi pembentukan thrombus di pembuluh darah. Aliran darah turbulensi dan melambatnya aliran darah, gangguan pada jalur koagulasi atau trombolisis atau fungsi trombosit dapat memacu pembentukan trombus

                              b.       Stroke akibat emboli, biasanya terjadi akibat emboli dari jantung. Emboli dapat terjadi pada lebih dari satu daerah vesikula yang berbeda, biasanya mengenai darah kortikal. Emboli terbentuk dari ngumpalan darah, fibrin-trombosit, kolesterol, lemak, udara, tumor, metastase, bakteri dan benda asing

Klasifikasi stroke nonhemoragik berdasar manifestasi klinis menurut Hutagaluh (2019, adalah :

                               a.       TIA (Transient Ischemic Attack), gejala neurologic yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 244 jam.

                              b.       RIND (Reversible Ischemic Neurological Deficit), gejala deurologik yang akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.

                               c.       Stroke Progesif, gejala neurologis makin lama makin berat.

                              d.       Stroke komplit, kelainan neurologic menetap dan tidak berkembang lagi.

 

2.      Pemeriksaan Penunjang

a.       CT-Scan

Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark

b.      Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)

MRI mempunyai banyak keunggulan dibanding CT dalam mengevaluasi stroke, MRI lebih sensitif dalam mendeteksi infark, terutama yang berlokasi dibatang otak dan serebelum

c.       Pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA)

Merupakan metode non-infasif yang memperlihatkan arteri karotis dan sirkulasi serebral serta dapat menunjukan adanya oklusi (Hartono, 2010)

d.      Pemeriksaan lumbal pungsi

Tekanan normal biasanya ada trombosis, emboli dan TIA, sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid atau intrakranial

e.       Pemeriksaan EKG

Dapat membantu mengidentifikasi penyebab kardiak jika stroke emboli dicurigai terjadi (Hartono, 2010)

f.        Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, fungsi ginjal, kadar glukosa, lipid, kolestrol, dan trigliserida dilakukan untuk membantu menegakan diagnose (Hartono, 2010).

g.      EEG (Electro Enchepalografi)

Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik

h.      Angiografi serebral

Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obtruksi arteri, oklusi/rupture

i.        Sinar X tengkorak

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada trobus serebral. Klasifikasi parsial dinding, aneurisma pada perdarahan sub arachnoid

 

 

j.        Pemeriksaan foto thorax

Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke, menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah berlawanan dari masa yang meluas

 

3.      Komplikasi

a.       Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini terjadi meskipun agak jarang (10-20%).

b.      Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke non hemoragik lebih lanjut belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke non hemoragik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang memerlukan evakuasi.

c.       Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke non hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke stroke non hemoragik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

(Mutiarasari, 2019)

Komplikasi stroke menurut Musi and Nurjannah (2021), adalah:

                           a.       Komplikasi mobilitas, mengakibatkan kontraktur bahu, ulkus decubitus, shoulder hand syndrome, drop foot akibat penekanan saraf peroneus, osteopenia, osteoporosis, inkontinesia alvi dan konstipasi.

                           b.       Komplikasi nutris/GIT, ulkus dan perdarahan lambung, konstipasi, dehidrasi, gangguan elektrolit, malnutrisi, hiperglikemia.

                           c.       Komplikasi tractus urinarius, inkontineksia, infeksi.

                           d.      Komplikasi musculoskeletal, spastisitas dan kontraktur, sesuai pola hemiplegi,, nyeri bahu, fraktur dan jatuh pada sisi yang lemah.

                           e.       Komplikasi neurologik, kejang pada fase awal, nyeri kepala hebat dan tidak menetap.

                            f.       Komplikasi kardiovaskuler, miokard infark, aritmia, decompensasio kordis, DVT, emboli paru.

                           g.      Komplikasi pendamping, keterbatasan pasien menyebabkan ketergantungan pada pendamping (keluarga) sehingga menyebabkan beban emosi dan fisik pada pendamping.

 

4.      Pencegahan

a.       Pencegahan Primer

1)      mengatur pola makan sehat

2)      penanganan stress dan beristirahat yang cukup

3)      pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter (diet dan obat)

b.      Pencegahan sekunder

1)      Pemeriksaan MRI pada beberapa pasien dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan informasi tambahan dalam penegakanndiagnosis dan dalam membuat perencanaan perawatan selanjutnya

2)      Pencitraan non invasif rutin dilakukan dalam waktu 24 jam sejak pasien masuk RS, dimana hanya untuk pasien dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2

3)      Monitoring jantung harus dilakukan setidaknya selama 24 jam pertama

4)      Pemeriksaan diabetes mellitus dengan pengujian glukosa plasma darah, hemoglobin A1c atau tes toleransi glukosa oral

5)      Pengukuran kadar kolesterol darah pada pasien yang telah medapatkan terapi statin

6)      Penilaian troponin awal dapat diberikan, tetapi tidak boleh menunda alteplase IV atau trombektomi

7)      Pemberian antikoagulasi pada pasien yang memiliki hasil tes koagulasi abnormal pasca stroke iskemik

8)      Pemberian antitrombotik pada pasien stroke iskemik akut non kardioembolik, yakni pemilihan antiplatelet dapat mengurangi risiko stroke berulang dan kejadian kardiovaskular lainnya

9)      Pemberian terapi statin pada pasien selama periode akut

10)  Revaskularisasi karotid dapat dilakukan untuk pencegahan sekunder pada pasien stroke dengan Modified Rankin Scale (MRS) 0-2, jika tidak ada kontraindikasi

11)  Inisiasi intervensi di RS dengan menggabungkan farmakoterapi dan dukungan terapi perilaku pada pasien stroke yang memiliki kebiasaan merokok, serta melakukan konseling rutin agar membantu pasien berhenti merokok.

12)  Memberikan pendidikan tentang stroke. Pasien harus diberikan informasi, saran, dan kesempatan untuk berdiskusi mengenai dampak stroke dalam kehidupan sehari-hari mereka.

(Mutiarasari, 2019)

Pencegahan stroke menurut Hutagaluh (2019), adalah:

                           a.       Pencegahan primer

Pencegahan yang ditujukan untuk orang yang belum pernah menderita stroke agar tidak menderita stroke. Upaya yang dilakukan adalah:

1)      Memasyarakatkan gaya hidup bebas stroke dengan beberapa hal antara lain :

a)      Menghindari rokok, stress mental, alkhohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, menghindari obat amfetamin, kokain dll.

b)      Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan.

c)      Mengendalikan penyakit yang merupakan faktor risiko stroke.

d)      Mengatur pola makan yang seimbang.

2)      Menganjurkan konsumsi gizi seimbang, olah raga secara teratur, istirahat teratur, cek Kesehatan secara teratur.

                           b.      Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan pada orang yang telah sakit agar tidak terjadi semakinparah. Menggunakan upaya mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi melalui kegiatan deteksi dini dan memberikan pengobatan cepat dan tepat.

                           c.       Pencegahan tertier

Upaya untuk mencegah atau membatasi kecacatan akibat komplikasi. Tindakan yang dilakukan berupa program rehabilitasi dengan fisioterapi, terapi okupasional, terapi wicara, Latihan mental/psikoterapi, dan olah raga.

 

5.      Penatalaksanaan

a.       Farmakologis

1)      Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan menguraikan bekuan darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam waktu 3 jam sejak manifestasi klinis stroke timbul dan hanya dilakukan setelah kemungkinan perdarahan atau penyebab lain disingkirkan.

2)      Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat resiko tinggi kekambuhan emboli, infark miokard yang baru terjadi, atau fibrilasi atrial.

3)      Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel dapat diberikan untuk mengurangi pembentukan trombus dan memperpanjang waktu pembekuan (Mutiarasari, 2019)

 

 

Penatalaksanaan stroke nonhemoragik menurut Hutagaluh (2019), adalah:

                           a.       Terapi pendukung, jika terjadi peningkatan tekanan darah maka harus diturunkan dan diobservasi. Tekanan darah tidak boleh diturunklan lebi dari 20% dan dipertimbangkan pemberian heparin untuk mencegah risiko terjadinya emboli paru. Pneumonia dicegah dengan pemasangan NGT, mobilsasi dan rehabilitasi dalam waktu cepat.

                           b.      Standar intervensi

Mencegah deficit neurologis dan mencegah perluasan kerusakan neurologis. Terapi antitrombotik danmemncegah edema serebral.

                           c.       Rehabilitasi

Dilakukan fisioterapi, Latihan berdiri, berjalan, kegiatan lainnya dan dilatih berbicara.

 

6.      Discharge Planning

Discharge Planning yang komprehensif dan terintegrasi harus dilakukan dalam proses penatalaksanaan stroke yaitu, pemberiann health education agar terjadinya perubahan perilaku pasien dan keluarga untuk mencegah terjadinya stroke berulang, mencegah terjadinya komplikasi, membantu pemulihan, mencegah terjadinya kematian serta mengupayakan kecacatan seminimal mungking dengan memberikan pengetahuan, pemahaman kepada pasien dan keluarga tentang penyakit, cara penanganan serta terhadap pemulihan stroke terhadapa kecacatn da ketidakmampuan.

(Mutiarasari, 2019)

 

 

 

 

 

 

 

 

A.    Konsep Keperawatan

1.      Pengkajian

Pengkajian menurut Wasena (2019), meliputi:

                          a.       Data umum pasien

1)        Data demografi: Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat rumah.

2)        Pekerjaan: jelaskan aktivitas sehari-hari pasien, jenis pekerjaan.

3)        Lingkungan: apakah terekspos pencemaran lingkungan seperti bahan kimia, listrik, polusi udara, dll

4)        Tingkat intelektual: riwayat pendidikan, pola komunikasi.

5)         Status emosi: ekspresi wajah, perasaan tentang dirinya, keluarga, pemberi layanan kesehatan, penerimaan stress dan koping mekanisme.

6)        Riwayat pengobatan: obat-obatan yang pernah diberikan (Nama, penggunaan, dosis, berapa lama), keadaan setelah pengobatan, alergi obat dan makanan. Kebiasaan minum alkhohol, obat-obatan, rokok.

7)        Pelayanan kesehatan: puskesmas, klinik, dokter praktek.

                          b.       Keluhan utama

1)        Trauma: urutan kejadian, waktu kejasian, siapa yang menangani, pengobatan yang diberikan, keadaan trauma.

2)        Infeksi akut: kejadian, tanda dan gejala kejang, tempat infeksi, sumber infeksi, penanganan yang sudah diberikan dan responnya.

3)        Kejang: urutan kejadian, karakter dan gejala kejang, kemungkinan faktor pencetus, riwayat kejang, penggunaan obat kejang.

4)        Nyeri: lokasi, kualitas, intensitas, lamanya, menetap atau tidak, penanganan sebelumnya.

5)        Gaya berjalan:  seimbang, kaki diseret, gangguan aktivitas.

6)        Vertigo: kejadian, faktor pencetus, mual dan muntah, tinnitus, perubahan kognitif, perubahan penglihatan, nyeri dada.

7)        Kelemahan: kejadian, lamanya, reflek menelan, adakah batuk, bagaimana jika menelan air atau lebih padat.

                          c.       Riwayat kesehatan yang lalu

1)    Apakah ada trauma: kepala, tulang belakang, spinal cord, trauma    lahir, trauma saraf.

2)    Apakah ada kelainan kongenital, deformitas/kecacatan.

3)    Adakah penyakit stroke

4)    Adakah encephalitis dan meningitis

5)    Adakah gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aneurisma,     disritmia, pembedahan jantung, tromboemboli.

                          d.       Riwayat keluarga

Epilepsi dan kejang, nyeri kepala, retardasi mental, stroke, gangguan psikiatri, penggunaan alkhohol, rokok, dan obat-obatan terlarang, penyakit keturunan, DM, muscular distropi.

                          e.       Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui kelainan dari fungsi neurologi. Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi: tanda vital, status mental, pemeriksaan kepala, leher dan pinggang, saraf kranial, saraf sensorik, saraf motoric, refleks dan sistem saraf otonom.

                          f.        Tanda vital

Sebelum melakukan tindakan yang lain, yang harus diperhatikan adalah tanda vital, karena sangat berhubungan dengan fungsi kehidupan dan tanda-tanda lain yang berkaitan dengan masalah yang terjadi. Tidak adekuatnya perfusi organ vital diakibatkan oleh tekanan darah yang tidak adekuat.

Perubahan tanda vital dapat juga terjadi pada peningkatan tekanan intracranial. Tubuh akan mencukupi kebutuhan oksigen dan glukosa di otak dengan meningkatkan aliran darah ke otak sebagai akibat meningkatnya tekanan intracranial. Demikian juga respirasi rate juga terganggu akibat peningkatan intracranial.

 

 

 

                          g.       Status mental

Tabel 2. Tingkat Kesadaran: GCS

Respon Membuka Mata

Nilai

Spontan

4

Terhadap bicara

3

Terhadap nyeri

2

Tidak ada respon

1

Respon Verbal

Nilai

Terorientasi

5

Percakapan membingungkan

4

Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai

3

Suara mengguman

2

Tidak ada respon

1

Respon Motorik

Nilai

Mengikuti perintah

6

Menunjuk tempat rangsangan

5

Menghndar dari stimulus

4

Fleksi abnormal (dekortikasi )

3

Ekstensi abnormal

2

Tidak ada respon

1

 

                                                            Tabel 3. Kekuatan Otot

Respon

Nilai

Tidak ada kontraksi

0

Ada  tanda dari kontraksi

1

Bergerak tapi tak mampu menahan gaya gravitasi

2

Bergerak melawan gaya gravitasi tetapi tidak dapat melawan tahanan dari otot pemeriksa

3

Bergerak dengan lemah terhadap tahanan dari otot pemeriksa

4

Dapat menahan tahanan dari otot pemeriksa

Kekuatan dan rangsangan yang normal

5

 

Tabel 4. Pemeriksaan Saraf Kranial

No

Syaraf Kranial

Cara Pemeriksaan

N.I

N. Olfactori Saraf sensorik Untuk penciuman.

Pasien memejamkan mata,disuruh membedakan bau yang dirasaka(kopi, teh, dll)

N.II

N. Optikus Saraf sensorik. Untuk penglihatan.

Dengan snelend card, dan periksa lapang pandang

N.III

N. Okulomotoris Saraf motorik. Untuk mengangkat kelopak mata keatas, kontraksi pupil, dan sebagian gerak ekstraokuler.

Tes putaran bola mata, menggerakan konjungtiva, refleks pupil dan inspeksi kelopak mata.

N.IV

N. Trochlearis. Saraf motorik. Gerakan mata ke bawah dan ke dalam

Sama seperti nervus III

V.V

N. Trigeminus. Saraf motorik. Gerakan mengunyah, sensasi wajah, lidah dan gigi, refleks kornea dan refleks kedip.

Menggerakan rahang kesemua sisi, pasien memejamkan mata, sentuh dengan kapas pada dahi atau pipi, menyentuh permukaan kornea dengan kapas.

N.VI

N. Abdusen Saraf motorik. Deviasi mata kelateral.

Sama seperti nervus III

N.VII

N. Fasialis. Saraf motorik. Untuk ekspresi, wajah.

Senyum, bersiul, mengangkat alis, mata, menutup kelopak mata dengan tahanan, menjulurkan lidah untuk membedakan gula dan garam.

N.VIII

N. Verstibulocochlearis. Saraf sensorik. Untuk pendengaran dan keseimbangan.

Test webber dan rinne.

N.IX

N. Glosofaringeus. Saraf sensorik dan motorik, Untuk sensasi rasa.

Membedakan rasa manis dan asam

N.X

N. Vagus. Saraf sensorik dan motoric. Refleks muntah dan menelan.

Menyentuh faring posterior, pasien menelan saliva, disuruh mengucap ah…

N.XI

N. Asesoris. Saraf motori Untuk menggerakan bahu

Suruh pasien untuk menggerakan bahu dan lakukan tahanan sambil pasien melawan tahanan tersebut.

N.XII

N. Hipoglosus. Saraf motoric. Untuk gerakan lidah.

Pasien disuruh menjulurkan lidah dan menggerakan dari sisi ke sisi.

                          h.       Pemeriksaan Fungsi Refleks

1)    Refleks Bisep

(a)          Pasien duduk dilantai

(b)         Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi, lengan diletakkan diatas lengan pemeriksa

(c)          Stimulus: ketokan pada jari pemeriksa pada tendon, biceps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.

(d)         Respon: fleksi lengan pada sendi siku.

2)    Refleks Trisep

(a)          Pasien duduk dengan rileks

(b)         Lengan pasien diletakan diatas lengan pemeriksa

(c)          Pukul tendon trisep melalui fosa olekrani

(d)         Stimulus: ketukan pada tendon otot triceps brachii,posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.

(e)          Respon ekstensi lengan bawah di sendi siku.

3)    Refleks Patella

(a)          Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai

(b)         Raba daerah kanan-kiri tendon untuk menentukan daerah yang tepat.

(c)          Tangan pemeriksa memegang paha pasien

(d)         Ketuk tendon patella dengan palu reflek menggunakan tangan yang lain.

(e)          Respon: pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah

(f)           Stimulus: ketukan pada tendon patella

(g)         Respon: ekstensi tungkai bawah karena kontraksi m.quadrisep femoris.

4)    Refleks Babinski

Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral. Orang normal akan memberikan respon fleksi jari-jari dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih ada.

5)     Refleks Achilles

Ketukan pada tendon Achilles. Respon: plantar fleksi longlegs karena kontraksi m.gastroenemius.

6)    Reflek kornea

Dengan cara menyentuhkan kapas pada limbus, hasil positif apabila mengedip (N IV & X).

7)    Refleks faring

Faring digores dengan spatel, reaksi positif bila ada reaksi muntahan (N IX & X)

 

2.      Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada pasien stroke menurut Lemone (2012), Black & Hawk (2014), adalah:

                          a.       Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan (D.0005)

                          b.       Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresin jalan napas (D.0001)

                          c.       Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan stroke (D.0017)

                          d.       Nyeri akut berhubungan agen pencedera fisiologis (stroke) (D. 0077)

                          e.       Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (D.0054)

                          f.        Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan serebrovaskular (D.0063)

                          g.       Gangguan persepsi sensori  berhubungan dengan gangguan penglihatan (D.0085)

                          h.       Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuskuler (D.0109)

                           i.        Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan (D.0058)

                           j.        Risiko cedera berhubungan dengan ketidakamanan transportasi (D.294)

                          k.       Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan (D.0019)

                           l.        Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal (D.0049)

                         m.      Ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan cedera kepala (D.0037)

                          n.       Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan mobilisasi (D.0192)

                          o.       Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0111)

Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invansif (D.1047)


1.      RENCANA KEPERAWATAN

No

Diagnosa Keperawatan

(SDKI)

Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI)

Rencana Tindakan Keperawatan

(SIKI)

1

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan (D.0005)

DS : dispnea

DO :

-     Penggunaan otot bantu pernapasan

-     Fase ekspiurasi memanjang

-     Pola napas abnormal

Setelah dilakuakn Tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola napas membaik (L.01004) dengan kriteria hasil :

1.      ventilasi semenit menigkat

2.      kapasitas vital meningkat

3.      tekanan ekspirasi memningkat

4.      frekuensi napas membaik

 

Manajemen jalan napas (L01011) :

1.        Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

2.        Monitor bunyi napas tambahan

3.        Monitor sputum (jumlah, warna, bau)

Pertahankan kepatenan jalan napas

4.        Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

5.        Berikan oksigen

6.        Kolaborasi pemberian obat bronkodilator.

2

Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan stroke (D.0017)

Setelah dilakuakn Tindakan keperawatan 3x24 jam perfusi serebral meningkat (L.02014) dengan kriteria hasil :

1.    Tingkat keasadaran meningkat

2.    Kognitif meningkat

3.    Tekanan intra kranial menurun

4.    Sakit kepala menurun

5.    Gelisah menurun

6.    Agitasi menurun

7.    Tekanan darah sistolik membaik

8.    Tekanan darah diastolic membaik

Refleks saraf membaik

Manajemen peningkatan intrakranial (I06194) :

1.        Identifikasi penyebab peningkatan tekanan intra kranial

2.        Monitor tanda dan gejala peningkatan tekanan intra kranial

3.        Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang

4.        Hindari pemberian cairan IV hipotonik

5.        Pertahankan suhu tubuh normal

6.        Cegah terjadinya kejang

7.        Kolaborasi pemberian diuretik

3

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (D.0054)

DS :

-    Mengeluh sakit mnenggerakkan ekstrimitas

DO :

-    Kekuatan otot menurun

-    ROM menurun

Setelah dilakukan Tindakan keperawatan 3x24 jam mobilitas fisik (L.05042) klien meningkat dengan kriteria hasil :

- Pergerakan ekstrimitas kekuatan otot rentang gerak (ROM) membaik

- Nyeri menurun

- Kecemasan menurun

- Gerakan terbatas menurun.

1.    Kelemahan fisik menurun

Dukungan mobilisasi (I.05173):

1.    Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan

2.    Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi.

3.    Fasilitasi melakukan pergerakan.

4.    Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam melakukan pergerakan.

5.    Jelaskan prosedur mobilisasi

7.        Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan.

1.      Discharge Planning

                          a.       Minum obat sesuai anjuran dokter

                          b.      Lakukan kontrol rutin sesuai jadwal pengobatan

                          c.       Modifikasi lingkungan rumah agar aman bagi pasien :

1)            Usahakan kamar dekat dengan kamar mandi

2)            Pencahayaan kamar cukup

3)            Hindari keadaan lantai yang licin

4)            Hindari penggunaan tangga

5)            Berikan pengaman pada tempat tidur klien

6)            Usahakan selalu ada yang mendampugi klien

                          d.      Lakukan latihan fisik dengan cara yang sederhana, misalnya menggunakan media bola yaitu dengan cara meremas bola tersebut, latihan makan dengan menggunakan sendok pada sisi yang mengalami kelemahan, menekuk kaki dan tangan yang mengalami kelemahan secara rutin

                          e.       Membaca koran/buku selama di rumah untuk mengembalikan kemampuan kognitif, apabila pasien tidak mampu membaca maka pendamping yang membacakan.

                           f.       Konsumsi makanan yang dianjurkan, hindari makanan yang berlemak dan kurangi konsumsi garam.


DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Jogiyanto. (2010). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan
Pengalaman-Pengalaman. Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta.

Hutagaluh, M. S. (2019). Panduan Lengkap Stroke - Google Books. Nusa Media.

Musi, M. A. and Nurjannah (2021) Neurosains : Menjiwai Sistem Saraf dan Otak- Google Books. Kencana. Available at: https://www.google.co.id/books/edition/Neurosains/vNBBEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=gangguan+sistem+persarafan&printsec=frontcover (Accessed: 23 November 2021).

Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and Prevention. Jurnal Ilmiah Kedokteran Medika Tandulako, 1(1), 60–73.

Nurarif Amin Huda & Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 3. Yogyakarta: Mediaction Publishing.

Permana, K. R. (2021). epidemiologi stroke. https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/stroke/epidemiologi

Permatasari, Nia. 2020. “Perbandingan Stroke Non Hemoragik Dengan Gangguan Motorik Pasien Memiliki Faktor Resiko Diabetes Melitus Dan Hipertensi.” Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada 11(1):298–304.

Pinzon, R., & Laksmi Asanti. (2010). awas STROKE pengertian, gejala, tindakan,perawatan dan pencegahan. andi. https://www.google.co.id/books/edition/AWAS_STROKE_Pengertian_Gejala_Tindakan_P/TrFtdwJ8qwkC?hl=en&gbpv=1&dq=CVA+HEMORAGIK+ebook&printsec=frontcover

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan

Satyanegara, 2014. Ilmu Bedah Saraf. V ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Tarwoto, & Wartonah. (2011). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Salemba Medika

Wasena, K. A. C. (2019) ‘Asuhan Keperawatan pada Tn. M dengan Stroke Iskemik di Ruang Rawat Inap Neurologi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukitinggi’, STIKES Perintis Padang.

Yueniwati, Y. (2015) Deteksi Dini Stroke Dengan Pemeriksaan Ultrasonografi Vaskular dan Variasi Genetika. UB Press.

Posting Komentar

0 Komentar