Hipertensi
2.1.1.
Definisi hipertensi
Hipertensi merupakan
suatu keadaan dimana tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis.
Hal tersebut terjadi karena jantung bekerja keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
oksigen dan nutrisi tubuh (Riskesdas, 2018). Hipertensi di kenal sebagai
peningkat tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal.
Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg.
Hipertensi adalah produk dari resistensi pembuluh darah prefier dan kardiak
output ( Wexler, 2017). Hipertensi diartikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolikdi atas 90
mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik di atas 150 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Bell et al, 2015).
Penyakit hipertensi
merupakan tekanan yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah
dipompa oleh jantung keseluruh tubuh, dimana tekanan sistoliknya di atas 140
mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Sistolik menunjukan tekanan darah pada
pembuluh arteri ketika jantung
sedang berkonstraksi, sedangkan diastolik menunjukan tekanan darah
ketika jantung sedang berlaksasi (Ridwan, 2016).
2.1.2.
Patofisiologi hipertensi
Banyak faktror yang
mengontrol tekanan darah berperan dalam pengembangan hipertensi primer. Ada
beberapa faktor utama meliputi masalah baik mekanisme hormonal (hormon
natriuretic, renin angiotensin-aldosterone) atau gannguan elektrolit
(natrium, klorida,kalium). (Handayani, 2017)
Hormon natriuretic
penyebab meningkatnya konsentrasi natrium dalam sel yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah. RAA (Renin Angiotensin Aldosterone System ) mengatur
natrium, kalium , dan volume darah, yang akhirnya akan mengatur tekanan darah
di arteri (pembuluh darah yang membawa darah dari jantung). dua hormon yang
terlibat dalam sistem RAAS termasuk
angiottensin II dan aldosteron. (Handayani, 2017).
Mekanisme
terjadinya hipertensi adalah
terbentuknya angiostensin II dan
angiotensin I oleh angiostensin converting enzym (ACE). ACE memegang peran
penting fisiologis dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin
(di produksi oleh ginjal) akan di rubah
menjadi angiotensin I, oleh ACE yang terdapat di peru-paru, angiostensi
I di ubah menjadi angiostensin II. Angiostensin II inilah yang memiliki peran
penting dalam menaikan tekanan darah dalam dua aksi utama. Aksi pertama yaitu
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH ) dan rasa haus. ADH di produksi
di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang
dieksresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya volume cairan ekstraseluler akan di
tinggalkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya
volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah.
(Handayani, 2017).
Aksi kedua yaitu
menstimulasi sekresi aldeosteron dari korteks ardenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang memiliki peran penting dalam ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi eskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari
hipertensi esensial yaitu multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor
tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfisi jaringan yang adekuat
meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber
vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastitas pembuluh darah dan
stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa
faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stres dapat
berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi.
Perjalanan penyakit
hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang terkadang muncul menjadi
hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi
persisten berkembang menjadi hipertnsi dengan komplikasi, dimana kerusakan
organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan
saraf pusat. (handayani,2017).
2.1.3.
Klasifikasi hipertensi
Tabel. 2.1 Klasifikasi tekanan
darah menurut WHO :
|
Klasifikasi |
Tekanan darah sistolik (mmHg) |
Tekanan darah diastolik (mmHg) |
|
Normal |
140 |
90 |
|
Borderine |
140-159 |
90-94 |
|
Hipertensi definitif |
160 |
95 |
|
Hipertensi ringan |
160-179 |
95-140 |
2.1.4.
Jenis Hipertensi
Jenis hipertensi di
bagi menjadi dua, yaitu berdasarkan penyebab dan bentuk.
1.
Berdasarkan penyebabnya
a.
Hipertensi primer atau esensial
adalah hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya, kadang dengan faktor gaya hidup seperti kurang bergerak dan pola
makan. Jenis ini terjadi pola 90% penderita hipertensi.
Faktor resiko terjadinya
hipertensi primer:
1) Riwayat hipertensi pada keluarga, orang yang memiliki keluarga
dengan riwayat hipertensi lebih rentan mengalami kondisi serupa. Berdasarkan
penelitian menunjukan bahwa ada bukti gen yang diturunkan untuk masalah tekanan
darah tinggi.
2) Berat badan berlebih, orang yang memiliki berat badan di atas 30
persen berat badan ideal memiliki kemungkinan
lebih besar menderita tekanan darah tinggi.
3) Usia,hipertensi dapat terjadi pada segala usia, namun kondisi ini
lebih umum muncul di umur 40-an. Hal ini dikarenakan pembuluh darah menjadi
lebih kaku seiring bertambahnya usia.
4) Mengkonsumi makanan mengandung tinggi garam,terlalu banyak
mengkonsumsi makanan mengandung garam bisa menyebabkan hipertensi.
5) Mengkunsumsi minuman alkohol berlebih, mengkonsumsi alkohol
berlebihan dapat membahayakan kesehatan karena dapat meningkatkan sistem
katekholamin, adanya katekholamin memicu naik tekanan darah.
6) Gangguan tidur, pola tidur yang buruk.kualitas tidur yang buruk dan
durasi tidur yang pendek dapat meningkatkan resiko hipertensi.
b.
Hipertensi sekunder atau non
esensial
adalah hipertensi yang diketahui
penyebabnya. Pada 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya yaitu penyakit ginjal. Dan sekitar 1-2% penyebabnya
adalah kelainan hormonal atau penggunaan
obat tertentu.
Faktor terjadinya hipertensi sekunder :
1)
Penyakit ginjal, dikarenakan terganggunya hormone renin, dimana hormone
renin ini membantu mengendalikan tekanan darah.
2)
Penyakit kelenjar tiroid dan paratiroid
3)
Ganguuan pernafasan saat tidur (sleep
apnea)
4)
Penyakit pembuluh darah di aorta (koarktasio
aorta)
5)
Obesitas
6)
Mengkonsumsi obat-obat an (KB, antidepresan, dan obat antiinflamasi
nonsteroid).
2.
Berdasarkan bentuk
hipertensi
1)
Hipertensi diastolic (diastolic
hypertension) adalah peningkatan diastolik tanpa diikuti peningkatan
tekanan sistolik. Biasanya ditemukan
pada anak-anak dan dewasa.
2)
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
merupakan peningkatan tekanan
sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolic. Biasanya di temukan pada usia
lanjut.
3)
Hipertensi campuran (diastole
dan sistol yang meninggi) merupakan peningkatan tekanan darah pada sistolik dan
diastolic.
2.1.5.
Komplikasi hipertensi
Akibat dari sifat penyakit hinpertensi yangg tidak
memberikan gejala hingga terdeteksi, maka penderita pada umunya mudah mendapat
komplikasi, keadaan ini yang tadinya tidak fatal menjadi penyebab resiko
kematian. Hipertensi dapat menjadi fatal jika tidak dikontrol dengan baik atau
biasa di sebut komplikasi. Komplikasi hipertensi ini terjadi karena kerusakan
organ yang diakibatkan peningkatan tekanan darah sangat tinggi dalam waktu lama
dan organ-organ yang paling sering rusak antara lain otak,mata, jantung serta
ginjal (Handayani,2017).
Ada beberapa penyakit komplikasi yang di sebabkan
hipertensi, pada penyakit hipertensi sekunder ini dapat menyebankan kmplikasi
penyakit pembuluh darah seperti ateloskerosis (pengerasan pembuluh darah) dan
stroke, penyakit ginjal kronis,penyakit jantung seperti hipertrofi ventrikal
kiri (pembesaran jantung), gagal jantung, retinopati,diseksi aorta dan penyakit
jantung iskemik (IHD). Penyakit hiperensi primer juga dapat menyebabkan
komplikasi lain seperti stroke dan ensefalopati (kerusakan otak) penyakit jantung
seperti ifark miokard, penyakit gagal ginjal dan kejang yang terjadi pada
wanita hamil dengan preeklamasi (Miciko umeda dkk, 2020).
2.1.6.
Pengobatan hipertensi
a.
Terapi non farmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat
sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan
merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan
prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Disamping
menurunkan tekanan darah pada pasien –pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya
hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada
pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang penting
yang terlihat menurunkan teknan darah yaitu mengurangi berat badab untuk
individu yang obesitas atau gemuk, mengatur pola makan DASH (diatery approach
to stop hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium,
aktifitas fisik dan mengkonsumsi alkohol secukupnya. Pada sejumlah pasien
dengan pengontrolan dengan tekanan darah yang cukup baik dengan terapi satu
obat antihipertensi, mengurangi makanan yang banyak mengandung garam dan
mengontrol berat badan dapat membebaskan pasien dari penggunaan obat
antihipertensi.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit
kardiovaskular. Pada hipertensi yang merokok harus konseling berhubungan dengan
resiko yang dapat diakibatkan oleh
merokok.
b.
Terapi farmakologi
Golongan obat-obat yang digunakan pada pengobatan hipertensi
digolongkan menjadi:
1)
Diuretik, obat golongan ini
bekerja dengan mengluarkan cairan tubuh melalui urine, sehingga volume cairan
tubuh berkurang yang menjadikan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan
berefek turunnya tekanan dalam darah. Obat diuretik di gunakan sebagai obat
pilihan utama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lain. Contohnya golongan
thiazide,HCT, furosemid, spironolacton dan amilorid.
2)
Beta blocker, mekanisme kerja
golongan obat ini melalui penurunannya daya pompa jantung. Obat ini tidak
dianjurkan pada pasien penderita gangguan pernafasan seperti asam bronikal,
bisoprolol, atenolol.
3)
ACE inhibilator, golongan ini
bekerja menghambat pembentukanzat angiotensin II (zat yang dapat meningkatkan
tekanan darah). yang termasuk golongan obat ini adalah benazepril, enalapril,
captropil, fosinopril dan lisinopril.
4)
Angiotensin reseptor bloker
(ARB), obat ini bekerja dengan menghalangi penmpelan zat angiotensin II pada
reseptor yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Contohnya obat
golongan ini adalah candesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, valsartan.
5)
Antagonis kalsium, mekanisme
kerja golongan obat ini yaitu menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat
kontraksi otot jantung (kontraktilitas). contoh obatnya amlodipin, nifedipine,
diltiazem, verapamil.
6)
Penghambat simpatis, golongan
obat ini bekerja menghambat syaraf simpatis (syaraf yang bekerja pada saat
beraktifitas). contoh obatnya clonidine, methyldopa, guanfacine, reserpin.
7)
Vasodilator, golongan obat ini
bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos. Yang termasuk
golongan obat ini yaitu doxazosin, hydralazine, minoxidil, terazosin.
Tabel 2.2 logaritma pengobatan Hipertensi
JNC 8 merupakan
kalsifikasi hipertensi terbaru
dari Join National
Committee yang berpusat di
Amerika Serikat sejak Desember 2013 dan mulai
dipublikasikan tahun 2014. JNC 8 juga merupakan
panduan baru pada menejemen
hipertensi orang dewasa terkait dengan penyakit kardiovaskular dan dapat
di jadikan sebagai
acuan dalam penanggulangan hipertensi di Indonesia.
Tabel 2.3 Obat Anti Hipertensi
|
Obat antihipertensi |
DosisAwal (mg) |
TargetDosis (mg) |
Dosisper Hari |
|
ACE inhibitor |
|
|
|
|
Captopril |
50 |
150-200 |
2 |
|
Enatapril |
5 |
20 |
1-2 |
|
Lisinopril |
10 |
40 |
1 |
|
AngiotensinReceptorBlockers |
|
|
|
|
Eprosartan |
400 |
600-800 |
1-2 |
|
Candesartan |
4 |
12-32 |
1 |
|
Losartan |
50 |
100 |
1-2 |
|
Valsartan |
40-80 |
160-320 |
1 |
|
Irbesartan |
75 |
300 |
1 |
|
Beta blockers |
|
|
|
|
Atenolol |
25-50 |
100 |
1 |
|
Metoprolol |
50 |
100-200 |
1-2 |
|
CalciumChannelBlockers |
|
|
|
|
Amlodipin |
2,5 |
10 |
1 |
|
Diltiazem |
120-180 |
360 |
1 |
|
Nitrendipin |
10 |
20 |
1-2 |
|
DiuretikjenisThiazide |
|
|
|
|
Bendroflumethiazide |
5 |
10 |
1 |
|
Chlortalidone |
12,5 |
12,5-25 |
1 |
|
Hydrochlorothiazide |
12,5-25 |
25-100 |
1-2 |
|
Indapamide |
1,25 |
1,25-2,5 |
1 |
2.
Gagal Ginjal
2.2.1.
Definisi
Gagal ginjal kronik merupakan lanjutan dari ginjal yang bersifat
progresif relatif lambat dan biasanya berlangsung selama satu tahun. Ginjal
kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh
asupan makanan normal. (Price and Wilson, 2018).Kerusakan ginjal selama kurang
lebih 3 bulan, didefinisikan kelianan
struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR),manifestasi dengan baik kelainan patologis atau penandaan kerusakan
ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urine.Penderita penyakit
gagal ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan-lahan dengan
demikian gagal ginjal merupakan stadium terberat gagal ginjal kronis. Oleh
karena itu, penderita harus menjalani terapi pengganti ginjal yaitu cuci darah
(hemodialisis) atau cangkok ginjal yang memerlukan biaya mahal.Biasanya
penyakit gagal ginjal kronis timbul secara perlahan dan bahkan bersifat secara
menahun bahkan awalnya kebanyakn penderita tidak merasakan gejala apapun hingga
ia mengalami sekitar 25% kelainan dari
ginjal normal, sementara itu ada beberapa penyakit yang memicu timbulnya
penyakit ginjal kronis diantaranya diabetes,hipertensi, dan batu ginjal. (Muhamad, 2017).
2.2.2. Penyebab
gagal ginjal kronis
Menurut Indonesia Renal Registry 2019, ada beberapa penyebab
penyakit gagal ginjal kronis adalah :
1. Tekanan
darah tinggi (hipertensi)
2. Penyumbatan
saluran kemih,
3. Kelainan
ginjal misal penyakit ginjal palikistik,
4. Diabetesmilitus (kencing manis)
5. Kelainan
autoimun misalnya lupus,
6. Penyakit
pembuluh darah,
7. Bekuan
darah pada ginjal,
8. Cedera
pada jaringan ginjal dan sel-sel,
9. Gromerulonefritis,
10. Nerritis
interstisal akut, dan
11. Akut
tubular nekrosis,
Dari total kasus penyakit gagal ginjal, sebagian besar di sebabkan
oleh penyakit diabetes dan hipertensi.
2.2.3.
Faktor resiko gagal ginjal
Menurut Pranandari dan Supadami (2018) penyebab gagal ginjal di
sebabkan oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin, riwayat penyakit
(seperti diabetes,hipertensi,penyakit
gangguan metabolit)
penyalahgunaan obat analgetik dan OAINS (obat
anti inflamasi non steroid ) selama bertahun-tahun, serta kebiasaan
merokok.
2.2.4.
Klasifikasi gagal ginjal
Gagal ginjal kronis (GGK) dapat di
klasifasikan berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu sebagai berikut:
a.
Stadium 1: normal (GFR>90
ml/min/1,73m
b.
Stadium 2 :ringan (GFR 60-89
ml/min/1,73)
c.
Stadium 3 : sedang (GFR 30-59
ml/min/1,73mm)
d.
Stadium 4 :berat (GFR 15-29
ml/min/1,73 m)
e.
Stadium 5: terminal (GFR
<15ml/min/1,73).
2.2.5. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi
structural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus proses kompensasi ini kemudian
diikuti oleh proses maladaptasi yaitu sklerosis nefron. Dengan adanya
peningkatan aktivitas sistem renin- angiotensin- aldostern system (RAAS), ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi sklerosis dan
progresifitas tersebut.Pada keadaan laju filtrasi glomerulus (LFG) sebesar 60%
pasien masih asimtomik. Selanjutnya pada LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan
pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan
penurunan berat badan.setelah kadar LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan
gejala tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah,gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, gangguan keseimbangan elektrolt.
Pada saat LFG dibawah 15% terjadi gejala dan komplikasi yang serius, pada tahap
ini pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain, hemodialisis,peritoneal dialisis, atau transplatasi
ginjal (Handayani,2019).
2.2.6. Manifestasi klinis
Penderita gagal ginjal kronis akan menunjukan
beberapa tanda dan gejala sesuai dengan
tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dari usia
penderita. Penyakit ini kan menimbulkan gangguan pada berbagai organ tubuh
antara lain:
1) Manifestasi kardiovaskular
Hipertensi, gagal jantung kongestif, edema pulmonal,
perikarditis.
2)
Manifestasi
dermatologis
penderita uremia sering mengalami pruritus.
a. Manifestasi gastrointestinal
Kulit pasien berubah menjadi putih seakan-akan
berlilin, hal ini diakibatkan penimbunan pigmen urine dan anemia. Kulit menjadi
kering dan bersisik, rambut menjadi rapuh dan berubah warna. Pada Anoreksia,
mual, muntah, cegukan, penurunan aliran saliva, haus, stomatitis.
b. Perubahan neuromuskular
Perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
c.
Perubahan
hematologis
Kecenderungan perdarahan.
d. Keletihan dan letergik, sakit kepala,
kelemahan umum, lebih mudah mengantuk, karakter pernafasan akan menjadi
kussmaul dan terjadi koma (Haryanti, 2016).
2.2.7.
Pengobatan gagal ginjal kronis
Tujuan pengobatan gagal ginjal, baik akut maupun kronis, adalah
mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi, dan menghambat perkembangan
penyakit. Pengobatan gagal ginjal kronis di bagi menjadi dua tahap yaitu
penanganan konservatif dan terapi pengganti ginjal dengan cara dialisis atau
transplatasi ginjal. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan
1)
Diet protein, pada pasien gagal
ginjal kronis harus di lakukan pembatasan protein. Pembatasan asupan protein
telah terbukti dapat menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal
ginjal. Asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi sehigga menurunkan
hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus dan cidera sekunder pada
nefron intake.
2)
Diet kalium, pembatasan kalium
juga harus di lakukan pada pasein GGK dengan cara diet rendah kalium dan tidak
mengkonsumsi obat-obtan yang tinggi akan kadar kalumnya. Pemberian kalium yang
berlebihan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi tubuh. Jumlah yang
diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq / hari. Maknan yang mengandung kalium
seperti sup, pisang, dan jus buah murni.
3)
Kebutuhan cairan , asupan
cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada penderita GGK. Asupannya
terlalu besar dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema dan
intoksikasi (keracunan) cairan. Asupan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi,
hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal.
Ketika terapi konservatif yang berupa diet, pembatasan minum,
obat-obatan dan lain- lain tidak bisa memperbaiki keadaan pasien maka terapi
pengganti ginjal dapat di lakukan. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa
hemodialisis, dialisis peritonial, dan transplatasi ginjal (Kemenkes RI, 2018).
a.
Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu cara dengan mengalirkan darah ke
dalam dializer (tabung ginjal bantuan ) yang terdiri dari dua kompartemen darah
dan kompartemen dialisat yang di pisahkan membran semipermeabel untuk membuang
sisa-sisa metabolisme.
b. Dialisis
peritoneal
Dialisis
peritonial adalah terapi pengganti ginjal
untuk penderita GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari.
Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal
diberikan semalaman. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
Dialisis Peritonial (DP). indikasi medik yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien
-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular pasien -pasien yang
cenderung akan mengalami pendarahan jika dilakukan hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunt, pasien dengan stroke , pasien dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik diserta co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik yaitu keinginnan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendir (Haryati,2016).
c.
Transplatasi ginjal
Transplatasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
untuk pasin gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplatasi ginjal
melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasnya ginjal yang cocok
dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal
ini membatasi trasplatasi ginjal sebagai pengobatan yang di pilih untuk
pasien (Haryanti,2019)
0 Komentar