TEKNOKES INDO

TEKNOKES INDO

HIPERTENSI DALAM SEGI FARMAKOLOGI

    Hipertensi

2.1.1.       Definisi hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Hal tersebut terjadi karena jantung bekerja keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh (Riskesdas, 2018). Hipertensi di kenal sebagai peningkat tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90  mmHg. Hipertensi adalah produk dari resistensi pembuluh darah prefier dan kardiak output ( Wexler, 2017). Hipertensi diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolikdi atas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik di atas 150 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Bell et al, 2015).

Penyakit hipertensi merupakan tekanan yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh jantung keseluruh tubuh, dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Sistolik menunjukan tekanan darah pada pembuluh arteri ketika jantung sedang berkonstraksi, sedangkan diastolik menunjukan tekanan darah ketika jantung sedang berlaksasi (Ridwan, 2016).

2.1.2.      Patofisiologi hipertensi      

Banyak faktror yang mengontrol tekanan darah berperan dalam pengembangan hipertensi primer. Ada beberapa faktor utama meliputi masalah baik mekanisme hormonal (hormon natriuretic, renin angiotensin-aldosterone) atau gannguan elektrolit (natrium, klorida,kalium). (Handayani, 2017)

Hormon natriuretic penyebab meningkatnya konsentrasi natrium dalam sel yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. RAA (Renin Angiotensin Aldosterone System ) mengatur natrium, kalium , dan volume darah, yang akhirnya akan mengatur tekanan darah di arteri (pembuluh darah yang membawa darah dari jantung). dua hormon yang terlibat dalam  sistem RAAS termasuk angiottensin II dan aldosteron. (Handayani, 2017).

Mekanisme terjadinya  hipertensi adalah terbentuknya angiostensin II  dan angiotensin I oleh angiostensin converting enzym (ACE). ACE memegang peran penting fisiologis dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (di produksi oleh ginjal) akan di rubah  menjadi angiotensin I, oleh ACE yang terdapat di peru-paru, angiostensi I di ubah menjadi angiostensin II. Angiostensin II inilah yang memiliki peran penting dalam menaikan tekanan darah dalam dua aksi utama. Aksi pertama yaitu meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH ) dan rasa haus. ADH di produksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang dieksresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya volume cairan ekstraseluler akan di tinggalkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya volume darah meningkat yang pada akhirnya akan  meningkatkan  tekanan darah. (Handayani, 2017).

Aksi kedua yaitu menstimulasi sekresi aldeosteron dari korteks ardenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peran penting dalam  ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi eskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial yaitu multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfisi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stres dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi.

Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang terkadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertnsi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf  pusat. (handayani,2017).

2.1.3.      Klasifikasi hipertensi

Tabel. 2.1 Klasifikasi tekanan darah menurut WHO :

Klasifikasi

Tekanan darah sistolik (mmHg)

Tekanan darah diastolik (mmHg)

Normal

140

90

Borderine

140-159

90-94

Hipertensi definitif

160

95

Hipertensi ringan

160-179

95-140

 

2.1.4.      Jenis Hipertensi

Jenis hipertensi di bagi menjadi dua, yaitu berdasarkan penyebab dan bentuk.

1.      Berdasarkan penyebabnya

a.       Hipertensi primer atau esensial

            adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya, kadang dengan faktor gaya hidup seperti kurang bergerak dan pola makan. Jenis ini terjadi pola 90% penderita hipertensi.

Faktor resiko terjadinya hipertensi primer:

1)      Riwayat hipertensi pada keluarga, orang yang memiliki keluarga dengan riwayat hipertensi lebih rentan mengalami kondisi serupa. Berdasarkan penelitian menunjukan bahwa ada bukti gen yang diturunkan untuk masalah tekanan darah tinggi.

2)      Berat badan berlebih, orang yang memiliki berat badan di atas 30 persen berat badan ideal memiliki kemungkinan  lebih besar menderita tekanan darah tinggi.

3)      Usia,hipertensi dapat terjadi pada segala usia, namun kondisi ini lebih umum muncul di umur 40-an. Hal ini dikarenakan pembuluh darah menjadi lebih kaku seiring bertambahnya usia.

4)      Mengkonsumi makanan mengandung tinggi garam,terlalu banyak mengkonsumsi makanan mengandung garam bisa menyebabkan hipertensi.

5)      Mengkunsumsi minuman alkohol berlebih, mengkonsumsi alkohol berlebihan dapat membahayakan kesehatan karena dapat meningkatkan sistem katekholamin, adanya katekholamin memicu naik tekanan darah.

6)      Gangguan tidur, pola tidur yang buruk.kualitas tidur yang buruk dan durasi tidur yang pendek dapat meningkatkan resiko hipertensi.

b.      Hipertensi sekunder atau non esensial

adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada 5-10%  penderita hipertensi, penyebabnya yaitu penyakit ginjal. Dan sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormonal atau  penggunaan obat  tertentu.

Faktor terjadinya hipertensi sekunder :

1)      Penyakit ginjal, dikarenakan terganggunya hormone renin, dimana hormone renin ini membantu mengendalikan tekanan darah.

2)      Penyakit kelenjar tiroid dan paratiroid

3)      Ganguuan pernafasan saat tidur (sleep apnea)

4)      Penyakit pembuluh darah di aorta (koarktasio aorta)

5)      Obesitas

6)      Mengkonsumsi obat-obat an (KB, antidepresan, dan obat antiinflamasi nonsteroid).

2.      Berdasarkan bentuk hipertensi

1)      Hipertensi diastolic (diastolic hypertension) adalah peningkatan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan  pada anak-anak dan dewasa.

2)      Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) merupakan  peningkatan  tekanan  sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan  diastolic. Biasanya di temukan pada usia lanjut.

3)      Hipertensi campuran (diastole dan sistol yang meninggi) merupakan peningkatan tekanan darah pada sistolik dan diastolic.

2.1.5.      Komplikasi hipertensi

Akibat dari sifat penyakit hinpertensi yangg tidak memberikan gejala hingga terdeteksi, maka penderita pada umunya mudah mendapat komplikasi, keadaan ini yang tadinya tidak fatal menjadi penyebab resiko kematian. Hipertensi dapat menjadi fatal jika tidak dikontrol dengan baik atau biasa di sebut komplikasi. Komplikasi hipertensi ini terjadi karena kerusakan organ yang diakibatkan peningkatan tekanan darah sangat tinggi dalam waktu lama dan organ-organ yang paling sering rusak antara lain otak,mata, jantung serta ginjal (Handayani,2017).

Ada beberapa penyakit komplikasi yang di sebabkan hipertensi, pada penyakit hipertensi sekunder ini dapat menyebankan kmplikasi penyakit pembuluh darah seperti ateloskerosis (pengerasan pembuluh darah) dan stroke, penyakit ginjal kronis,penyakit jantung seperti hipertrofi ventrikal kiri (pembesaran jantung), gagal jantung, retinopati,diseksi aorta dan penyakit jantung iskemik (IHD). Penyakit hiperensi primer juga dapat menyebabkan komplikasi lain seperti stroke dan ensefalopati (kerusakan otak) penyakit jantung seperti ifark miokard, penyakit gagal ginjal dan kejang yang terjadi pada wanita hamil dengan preeklamasi (Miciko umeda dkk, 2020).

2.1.6.      Pengobatan hipertensi

a.         Terapi non farmakologi

 Menerapkan gaya hidup sehat sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien –pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.

Modifikasi gaya hidup yang penting  yang terlihat menurunkan teknan darah yaitu mengurangi berat badab untuk individu yang obesitas atau gemuk, mengatur pola makan DASH (diatery approach to stop hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium, aktifitas fisik dan mengkonsumsi alkohol secukupnya. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan dengan tekanan darah yang cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi, mengurangi makanan yang banyak mengandung garam dan mengontrol berat badan dapat membebaskan pasien dari penggunaan obat antihipertensi.

Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular. Pada hipertensi yang merokok harus konseling berhubungan dengan resiko  yang dapat diakibatkan oleh merokok.

b.         Terapi farmakologi

Golongan obat-obat yang digunakan pada pengobatan hipertensi digolongkan menjadi:

1)      Diuretik, obat golongan ini bekerja dengan mengluarkan cairan tubuh melalui urine, sehingga volume cairan tubuh berkurang yang menjadikan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan dalam darah. Obat diuretik di gunakan sebagai obat pilihan utama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lain. Contohnya golongan thiazide,HCT, furosemid, spironolacton dan amilorid.

2)      Beta blocker, mekanisme kerja golongan obat ini melalui penurunannya daya pompa jantung. Obat ini tidak dianjurkan pada pasien penderita gangguan pernafasan seperti asam bronikal, bisoprolol, atenolol.

3)      ACE inhibilator, golongan ini bekerja menghambat pembentukanzat angiotensin II (zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). yang termasuk golongan obat ini adalah benazepril, enalapril, captropil, fosinopril dan lisinopril.

4)      Angiotensin reseptor bloker (ARB), obat ini bekerja dengan menghalangi penmpelan zat angiotensin II pada reseptor yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Contohnya obat golongan ini adalah candesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, valsartan.

5)      Antagonis kalsium, mekanisme kerja golongan obat ini yaitu menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). contoh obatnya amlodipin, nifedipine, diltiazem, verapamil.

6)      Penghambat simpatis, golongan obat ini bekerja menghambat syaraf simpatis (syaraf yang bekerja pada saat beraktifitas). contoh obatnya clonidine, methyldopa, guanfacine, reserpin.

7)      Vasodilator, golongan obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos. Yang termasuk golongan obat ini yaitu doxazosin, hydralazine, minoxidil, terazosin.

 

 

Tabel 2.2 logaritma pengobatan Hipertensi

 

 

JNC 8 merupakan kalsifikasi hipertensi terbaru dari Join National Committee yang berpusat di Amerika Serikat sejak Desember 2013 dan mulai dipublikasikan tahun 2014. JNC 8 juga merupakan panduan baru pada menejemen hipertensi orang dewasa terkait dengan penyakit kardiovaskular dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam penanggulangan hipertensi di Indonesia.

Tabel 2.3 Obat Anti Hipertensi

Obat antihipertensi

DosisAwal (mg)

TargetDosis (mg)

Dosisper Hari

ACE inhibitor

 

 

 

Captopril

50

150-200

2

Enatapril

5

20

1-2

Lisinopril

10

40

1

AngiotensinReceptorBlockers

 

 

 

Eprosartan

400

600-800

1-2

Candesartan

4

12-32

1

Losartan

50

100

1-2

Valsartan

40-80

160-320

1

Irbesartan

75

300

1

Beta blockers

 

 

 

Atenolol

25-50

100

1

Metoprolol

50

100-200

1-2

CalciumChannelBlockers

 

 

 

Amlodipin

2,5

10

1

Diltiazem

120-180

360

1

Nitrendipin

10

20

1-2

DiuretikjenisThiazide

 

 

 

Bendroflumethiazide

5

10

1

Chlortalidone

12,5

12,5-25

1

Hydrochlorothiazide

12,5-25

25-100

1-2

Indapamide

1,25

1,25-2,5

1


2.             Gagal Ginjal

2.2.1.      Definisi

Gagal ginjal kronik merupakan lanjutan dari ginjal yang bersifat progresif relatif lambat dan biasanya berlangsung selama satu tahun. Ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh asupan makanan normal. (Price and Wilson, 2018).Kerusakan ginjal selama kurang lebih 3 bulan,  didefinisikan kelianan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR),manifestasi dengan baik kelainan patologis atau penandaan kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urine.Penderita penyakit gagal ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal secara perlahan-lahan dengan demikian gagal ginjal merupakan stadium terberat gagal ginjal kronis. Oleh karena itu, penderita harus menjalani terapi pengganti ginjal yaitu cuci darah (hemodialisis) atau cangkok ginjal yang memerlukan biaya mahal.Biasanya penyakit gagal ginjal kronis timbul secara perlahan dan bahkan bersifat secara menahun bahkan awalnya kebanyakn penderita tidak merasakan gejala apapun hingga ia mengalami sekitar 25%  kelainan dari ginjal normal, sementara itu ada beberapa penyakit yang memicu timbulnya penyakit ginjal kronis diantaranya diabetes,hipertensi, dan  batu ginjal. (Muhamad, 2017).

2.2.2.      Penyebab gagal ginjal kronis

Menurut Indonesia Renal Registry 2019, ada beberapa penyebab penyakit gagal ginjal kronis adalah :

1. Tekanan darah tinggi (hipertensi)

2. Penyumbatan saluran kemih,

3. Kelainan ginjal misal penyakit ginjal palikistik,

4. Diabetesmilitus  (kencing manis)

5. Kelainan autoimun misalnya lupus,

6. Penyakit pembuluh darah,

7. Bekuan darah pada ginjal,

8. Cedera pada jaringan ginjal dan sel-sel,

9. Gromerulonefritis,

10. Nerritis interstisal akut, dan

11. Akut tubular nekrosis,

Dari total kasus penyakit gagal ginjal, sebagian besar di sebabkan oleh penyakit diabetes dan hipertensi.

2.2.3.      Faktor resiko gagal ginjal

Menurut Pranandari dan Supadami (2018) penyebab gagal ginjal di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin, riwayat penyakit (seperti diabetes,hipertensi,penyakit  gangguan  metabolit) penyalahgunaan obat analgetik dan OAINS (obat anti inflamasi non steroid ) selama bertahun-tahun, serta kebiasaan merokok.

2.2.4.      Klasifikasi gagal ginjal

Gagal ginjal kronis (GGK) dapat di klasifasikan berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu sebagai berikut:

a.       Stadium 1: normal (GFR>90 ml/min/1,73m

b.      Stadium 2 :ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73)

c.       Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73mm)

d.      Stadium 4 :berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m)

e.       Stadium 5: terminal (GFR <15ml/min/1,73).

2.2.5.      Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus proses kompensasi ini kemudian diikuti oleh proses maladaptasi yaitu sklerosis nefron. Dengan adanya peningkatan aktivitas sistem renin- angiotensin- aldostern system (RAAS), ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi sklerosis dan progresifitas tersebut.Pada keadaan laju filtrasi glomerulus (LFG) sebesar 60% pasien masih asimtomik. Selanjutnya pada LFG sebesar 30% mulai timbul keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan.setelah kadar LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, gangguan keseimbangan elektrolt. Pada saat LFG dibawah 15% terjadi gejala dan komplikasi yang serius, pada tahap ini pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain, hemodialisis,peritoneal dialisis, atau transplatasi ginjal (Handayani,2019).

2.2.6.      Manifestasi klinis

Penderita gagal ginjal kronis akan menunjukan beberapa tanda dan gejala sesuai dengan  tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dari usia penderita. Penyakit ini kan menimbulkan gangguan pada berbagai organ tubuh antara lain:

1)      Manifestasi kardiovaskular

Hipertensi, gagal jantung kongestif, edema pulmonal, perikarditis.

2)      Manifestasi dermatologis

penderita uremia sering mengalami pruritus.

a.       Manifestasi gastrointestinal

Kulit pasien berubah menjadi putih seakan-akan berlilin, hal ini diakibatkan penimbunan pigmen urine dan anemia. Kulit menjadi kering dan bersisik, rambut menjadi rapuh dan berubah warna. Pada Anoreksia, mual, muntah, cegukan, penurunan aliran saliva, haus, stomatitis.

b.      Perubahan neuromuskular

Perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.

c.       Perubahan hematologis

Kecenderungan perdarahan.

d.      Keletihan dan letergik, sakit kepala, kelemahan umum, lebih mudah mengantuk, karakter pernafasan akan menjadi kussmaul dan terjadi koma (Haryanti, 2016).

2.2.7.      Pengobatan gagal ginjal kronis

Tujuan pengobatan gagal ginjal, baik akut maupun kronis, adalah mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi, dan menghambat perkembangan penyakit. Pengobatan gagal ginjal kronis di bagi menjadi dua tahap yaitu penanganan konservatif dan terapi pengganti ginjal dengan cara dialisis atau transplatasi ginjal. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan

1)      Diet protein, pada pasien gagal ginjal kronis harus di lakukan pembatasan protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti dapat menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi sehigga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus dan cidera sekunder pada nefron intake.

2)      Diet kalium, pembatasan kalium juga harus di lakukan pada pasein GGK dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-obtan yang tinggi akan kadar kalumnya. Pemberian kalium yang berlebihan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi tubuh. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40-80 mEq / hari. Maknan yang mengandung kalium seperti sup, pisang, dan jus buah murni.

3)      Kebutuhan cairan , asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada penderita GGK. Asupannya terlalu besar dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema dan intoksikasi (keracunan) cairan. Asupan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi ginjal.

Ketika terapi konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan dan lain- lain tidak bisa memperbaiki keadaan pasien maka terapi pengganti ginjal dapat di lakukan. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa hemodialisis, dialisis peritonial, dan transplatasi ginjal (Kemenkes RI, 2018).

a.       Hemodialisis

Hemodialisis merupakan salah satu cara dengan mengalirkan darah ke dalam dializer (tabung ginjal bantuan ) yang terdiri dari dua kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang di pisahkan membran semipermeabel untuk membuang sisa-sisa metabolisme.

 

b.      Dialisis peritoneal

Dialisis peritonial adalah terapi pengganti ginjal  untuk penderita GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari. Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal diberikan semalaman. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien Dialisis Peritonial (DP). indikasi medik yaitu pasien anak-anak dan orang tua  (umur lebih dari 65 tahun), pasien -pasien yang telah  menderita penyakit sistem kardiovaskular pasien -pasien yang  cenderung akan mengalami pendarahan jika dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunt, pasien dengan stroke , pasien dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik diserta co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik yaitu keinginnan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendir (Haryati,2016).

c.       Transplatasi ginjal

Transplatasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk pasin gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplatasi ginjal melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasnya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini membatasi trasplatasi ginjal sebagai pengobatan yang di pilih untuk pasien  (Haryanti,2019)

Posting Komentar

0 Komentar